Pada saat menghentak-hentak, ternyata saya merasa tidak tahan lagi untuk bertahan lebih lama.“Saanntii.. Mas ngomongnya sekarang vulgar banget”, balasnya sambil tersipu malu, lalu ia mencubit pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman, aku memeluknya lagi. “Kenapa, Santi?”, aku bertanya pura-pura tidak mengerti.Padahal aku tahu dia pasti terkejut karena merasakan keras dan kokohnya kejantananku saat ini. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Yoga yang paling pojok, berhadapan dengan kamar Eksanti.Masing-masing kamar tampak tampak pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. “..yes!”. Bibirku kini turun menyapu kulit putih di lehernya dengan tangan kita meraup bukit indah payudaranya. Namun aku tak peduli. “Tangan kamu semakin pintar yaa.., Santi”, ujarku sambil memandang yang mulai mengocok-ngocok lembut sekujur kejantananku. Sesampainya di sana, aku melihat garasi tempat mobil Yoga biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Yoga sedang keluar. aku merasa kecewa sekali. Mula-mula dari dada, ke belakang punggung lalu menuju ke bawah, ke batang kejantananku.Aku merasa aneh
