“Mbak, pria yg duduk disana ada yg ngelihatin Mbak terus, sepertinya naksir, mau kukenalkan Mbak”, kataku sambil menghabiskan roti bakarku. kamu nggak pernah bisa diajak serius”, keluhnya dengan muka masam. Gesekkan tempurung lutut pada bagian depan celana dalamnya ternyata sangat merangsangnya hingga melepas kuluman pada ujung batang kemaluanku. Setelah memesan sarapan, Indah mulai membuka percakapan, tapi karena pikiranku masih di pekerjaan maka aku hanya berbicara sedikit. “Ya ampun Zainal, kamu baru bangun!”, teriak Indah. Indah membungkukkan badan dan mendekatkan bibirnya pada ujung batang kemaluanku. “Mbak, boleh minta rotinya!”, kataku dengan halus. Konsentrasi tinggi serta posisi duduk dan letak meja didalam penginapan yg sebenarnya tdk ideal untuk dipakai kerja membuat leherku terasa pegal. Berbaring nyaman, tubuh Indah mulai bergoyang seirama dengan gerakanku. “Kamu sudah makan Zainal? “Tampangnya sih oke tapi pria seperti itu hanya mau menangnya sendiri seperti bekas suamiku yg pertama”, sambungnya. Seusai mengulang dan merubahnya hingga kurasa cukup, kuhentikan kegiatanku tersebut. Dengan berusaha secermat
